Minggu, 14 Februari 2010

Anggaplah Bahagia, Apabila Jatuh dalam Pencobaan

Dibandingkan dengan surat-surat lain dalam Perjanjian Baru, kitab Yakobus bukanlah kitab favorit bagi para teolog ataupun bagi para penulis buku-buku tafsiran sebab isinya terlalu praktis dibandingkan dengan kitab-kitab lain yang mengandung kedalaman doktrin. Sebaliknya, orang Kristen umumnya justru lebih akrab dengan surat Yakobus dibanding dengan surat-surat yang lain. Disaat orang merasa sudah mengerti maka kita justru harus lebih berhati-hati sebab biasanya kualitas pembacaan kita menjadi berbeda. Surat Yakobus tidaklah sesederhana itu, keunikannya justru terletak pada pemilihan kata-katanya, yaitu kata-kata yang dipakai oleh Yakobus sangatlah sederhana namun sangat akurat. Pertanyaannya adalah kalau orang sudah mengerti lalu apakah pengaplikasiannya semudah seperti saat membacanya? Ternyata, orang merasakan ada sebuah gap atau kesenjangan, hal ini disebabkan karena orang merasa “sudah“ tahu padahal sebenarnya ia belum tahu apa-apa maka tidaklah heran kalau kemudian orang gagal mengaplikasikan.

Saudara-saudaraku, anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan (Yak. 1:2). Ayat ini bukan berarti ketika kita berada dalam tekanan atau kesulitan, kita tidak boleh bersedih, kita harus tetap tersenyum. Tidak! Yakobus telah memilih kata yang tepat, yaitu kata “anggaplah“ bukan “rasakanlah.“ Terjemahan “anggaplah“ disini kurang tepat sebab sepertinya berkonotasi menipu diri, yaitu sebenarnya kita tidak suka tapi demi supaya tidak menyinggung perasaan orang lain maka kita seolah-olah harus menampakkan ekspresi kesukaan. Padahal kata “anggaplah“ dalam bahasa aslinya diterjemahkan “pertimbangkanlah.“ Jadi, bukan berkenaan dengan perasaan seseorang tapi berkenaan dengan bagaimana seseorang menilai suatu pencobaan yang datang atas dirinya. Di satu pihak, kita mungkin merasa gentar dan kuatir ketika kesulitan itu datang lalu bagaimana mempertimbangkan kesulitan itu sebagai suatu kebahagiaan? Tanpa disadari, sebenarnya sebagian orang pernah mengalami bagaimana mempertimbangkan suatu kesulitan itu sebagai suatu kebahagiaan. Sebagai contoh, setiap orang tua pasti merasa kuatir saat menghadapi kelahiran anak pertama, di satu pihak, kita merasa kuatir namun di pihak lain kita mempunyai pengharapan bahwa semua kekuatiran itu akan berubah menjadi suatu sukacita. Begitu juga ketika kita menghadapi ujian akhir. Celakanya, kalau orang justru larut dalam kegelisahan dan kemudian memutuskan tidak mau melahirkan atau tidak mau mengikuti ujian akhir maka ia tidak akan pernah merasakan anugerah Tuhan.

Mengapa dan apa yang akan kita dapatkan sehingga kita harus memandang pencobaan sebagai suatu kebahagiaan? Perhatikan, berbagai-bagai pencobaan itu merupakan ujian terhadap iman dimana ujian iman itu akan menghasilkan ketekunan (Yak. 2:3). Sayangnya, hal ini seringkali terlewatkan, ketika orang jatuh dalam berbagai-bagai pencobaan, orang tidak lagi berpikir tentang iman atau bagaimana seharusnya berespon terhadap iman sebab rasa gelisah dan kuatir yang begitu kuat yang menyangkut harga diri seperti nama baik, keluarga, dan lain-lain sangat mempengaruhi pikirannya. Apakah kita masih tetap percaya dan bersandar pada Tuhan ataukah kita mulai meragukan-Nya?

Kita seharusnya malu karena kita telah menempatkan iman kita sedemikian rendah bahkan lebih rendah dari penilaian iblis tentang iman. Mengapa iblis tidak suka dengan Ayub, apakah karena Ayub mempunyai harta banyak ataukah karena Ayub mempunyai anak yang banyak? Tidak! Iblis tidak keberatan dengan semua itu yang iblis benci adalah imannya. Iblis tidak suka melihat iman anak Tuhan bertumbuh. Dengan segala cara, iblis berusaha menjatuhkan iman kita bahkan ia berani membayar mahal asal kita mau menjual iman kita. C. S. Lewis dalam bukunya Screwtape Letters, dikisahkan ada seorang setan senior bernama Screwtape menulis surat kepada keponakannya, Wormwood, yang isinya tentang tips menjatuhkan iman orang Kristen. Ingat, konteksnya adalah iblis yang berbicara maka musuh yang dimaksud disini yaitu anak Tuhan. Screwtape berkata,“ketika anak dari musuh kita, berada dalam lembah yang paling dalam maka justru disanalah ia akan bertumbuh dengan pesat dibandingkan kalau ia berada di puncak tertinggi dan Bapanya akan bersukacita kalau ada anak-Nya yang mempunyai keinginan untuk berjalan meski tertatih-tatih maka jangan senang dulu sebab kita justru berada dalam bahaya besar kalau seorang anak manusia yang tidak ingin berjalan namun masih mempunyai keinginan untuk berjalan atau ketika ia tidak menemukan satu jejakpun dari Bapanya dan bertanya-tanya apa kesalahannya sehingga ia ditinggalkan namun ia tetap taat.“ Perhatikan, setan lebih menghargai iman bahkan jauh daripada seorang manusia menghargai imannya; saat manusia berada dalam kesulitan, orang tidak lagi berpikir tentang iman. Adalah mustahil kalau orang berkata, “Aku mengasihi Engkau dan aku ingin memuliakan-Mu, Tuhan di sepanjang hidupku tapi sekali waktu aku boleh tidak taat, bukan?“ Pertanyaannya adalah benarkah sikap demikian itu dapat dikatakan sebagai mengasihi? Ingat, hal yang paling menyakitkan hati Tuhan adalah ketika Ia melihat anak-anak-Nya bersungut-sungut dan mulai meragukan kasih-Nya, kedaulatan-Nya dan keadilan-Nya.

Iman kita sangatlah berharga karena itu ujian terhadap iman itu sangatlah diperlukan sebab ujian terhadap iman itu akan menghasilkan ketekunan dan dari ketekunan itu akan diperoleh buah yang matang (Yak. 1:3-4). Iman, ketekunan dan buah yang matang merupakan satu kesatuan. Sama seperti bayi yang berada dalam kandungan, dilahirkan dan kemudian bertumbuh menjadi besar menunjuk pada satu orang yang sama. Douglas menggambarkan ketekunan itu seperti orang yang berhasil mengangkat beban berat untuk waktu yang lama. Sesungguhnya, kita ingin hidup sesuai dengan kehendak-Nya namun iman kita lemah sehingga kita sering terjatuh. Janganlah berkecil hati, itulah ujian iman. Di satu aspek mungkin kita berhasil bertekun, kita telah lulus dalam ujian iman namun jangan berpuas diri, ketekunan itu harus terus diproses dengan demikian akan diperoleh buah yang matang. Namun kalau kita mau jujur, apakah kita akan tetap bertekun kalau seandainya anak atau istri kita yang diuji ataukah iman kita akan menjadi goncang? Yakobus sangat akurat dan cermat menggunakan kalimat “berbagai-bagai pencobaan“ karena aspek iman kita juga lebih dari satu. Iman bukan menjadi bagian yang terisolasi di dalam diri sebab iman sangat berpengaruh dan terimplikasi dalam hidup kita sehari-hari.

Pencobaan merupakan ujian terhadap iman dimana ujian iman itu akan menghasilkan ketekunan dan ketekunan menghasilkan buah yang matang dengan demikian kita akan menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun. Sempurna disini bukan berarti kita menjadi malaikat dan kita tidak akan pernah terjatuh lagi. Tidak! Ketika iman kita diuji maka semua karakter dan seluruh keberadaan diri kita juga turut dibentuk dan disempurnakan sampai akhirnya menghasilkan buah yang matang. Tuhan Yesus ingin supaya kita menjadi sempurna seperti Dia lalu sudah seberapa jauhkah kita melihat pentingnya kedewasaan rohani? Sungguh sangatlah disayangkan, banyak anak Tuhan yang tidak dapat melihat pentingnya kematangan rohani sebab yang terpenting adalah justru mencari cara bagaimana supaya dapat keluar dan lepas dari masalah. Maka tidaklah heran kalau kemudian ada orang yang berpendapat bahwa Yak. 1:2-4 ini tidak relevan lagi.

Orang pasti sangat setuju dan memandang relevan andai ayat tersebut berbunyi demikian: “anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu keluar dari berbagai-bagai pencobaan.“ Pertanyaannya adalah sampai kapan kita dapat keluar dari segala masalah hidup? Kita dapat keluar dari semua masalah kalau kita sudah berada di Sorga bersama dengan Bapa. Jangan pernah berpikir bahwa hidup kita akan menjadi lebih bahagia kalau satu masalah yang membebani hidup kita disingkirkan. Benarkah hanya ada satu masalah? Tidak! Hari ini mungkin satu masalah itu dapat kita selesaikan namun bukan berarti tidak timbul masalah lain. Tidak! Selama kita masih hidup di dunia maka kesulitan dan tantangan itu akan selalu ada dan itu menjadi ujian iman supaya semakin bertumbuh dan berakar kuat. Ketika Tuhan Yesus berkata pada perempuan Samaria yang berada di tepi sumur dan bangsa Israel bahwa minum air itu akan haus lagi dan makan manna, roti dari Sorga pun mereka akan mati namun bukan berarti Tuhan Yesus tidak menghargai air dan roti. Tidak! Bahkan pada waktu itu, Tuhan Yesus pun minta air dan Ia makan roti tapi satu hal yang Tuhan ajarkan yaitu bagaimana seharusnya kita menilai hal-hal yang baik di dunia. Tuhan Yesus memberikan air hidup yang akan terus memancar dan Tuhan Yesus berkata, “Akulah roti hidup yang telah turun dari sorga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya“ (Yoh. 6:51). Banyak orang yang berpendapat bahwa Firman Tuhan ini sangatlah indah namun sulit dijalankan. Kalau memang benar, kita sudah menjadi anak Tuhan maka menjalankan Firman tidaklah sulit sebab Air Hidup itu sebenarnya sudah ada di dalam diri kita. Lalu dimana dan apa masalahnya sehingga air hidup itu tidak dapat memancar dalam diri kita? Masalahnya adalah karena kita belum mempunyai kedewasaan iman. Kalau kita menganggap bahwa untuk menjadi serupa dengan Kristus sangatlah berharga maka seharusnya kita patut bersyukur sebab Firman Tuhan telah memberikan kekuatan bahwa semua kesulitan dan tantangan yang kita hadapi itu justru untuk menjadikan kita sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apapun. Seorang penafsir mengaitkan ayat ini dan menunjuk pada tokoh-tokoh Perjanjian Lama khususnya seorang bernama Nuh.

Hari ini, kalau kita membaca kisah iman Abraham, ketaatan Nuh, kepemimpinan Musa dan beberapa tokoh iman yang lain, tentu kita akan merasa takjub dan kagum namun ingat, kesempurnaan itu mereka peroleh karena sebelumnya mereka telah melalui berbagai-bagai pencobaan dan pengujian iman sehingga menghasilkan ketekunan dan buah yang matang. Puji Tuhan, Dia telah membukakan pada kita dan memberikan teladan indah bahwa untuk menjadi serupa Kristus harulah melewati proses. Ironisnya, hari ini banyak orang yang ingin sukses tapi tidak mau melalui proses, orang tidak mau mengalami kesulitan. Sebuah tulisan mengatakan kalau anda ingin kaya maka jangan meniru orang kaya setelah ia menjadi kaya tetapi tirulah perjuangan dan kegigihannya sebelum ia kaya. Sebuah buku berjudul Saving the Blue mengisahkan kesuksesan Loe Gaetsner yang telah berhasil menyelamatkan perusahaan komputer IBM dari pailit namun sayang, buku tersebut tidak menuliskan tentang perjuangannya maka tidaklah heran kalau kemudian orang yang membaca buku tersebut juga ingin sukses tanpa melalui proses terlebih dahulu.


Alkisah ada seekor anak elang yang hidup di tengah-tengah sekawanan ayam. Tidak diceritakan bagaimana prosesnya sehingga elang ini dapat hidup di tengah-tengah sekawanan ayam. Sampai besar, anak elang ini masih menyangka bahwa dirinya adalah seekor ayam hingga suatu ketika ia melihat seekor burung elang melintas di atasnya, ia sangat kagum dan ia pun ingin menjadi elang. Sangatlah mengenaskan, sampai ia mati pun ia tidak menyadari bahwa ia sebenarnya adalah burung elang yang selama ini sangat ia kagumi. Akhirnya burung elang ini mati sebagai ayam. Bukankah kita seringkali juga demikian ketika kita melihat orang-orang yang sukses, kita menjadi takjub dan kita ingin menjadi seperti mereka tapi kemudian kita menjadi berkecil hati? Ingat, mereka tidak otomatis menjadi seperti itu, ada jalan panjang dan berliku yang harus dilalui. Dengan demikian kita dapat mengaminkan Firman Tuhan: anggaplah sebagai suatu kebahagiaan, apabila kamu jatuh dalam berbagai-bagai pencobaan karena yang diuji adalah iman dan iman itu menghasilkan ketekunan dan ketekunan itu akan menghasilkan buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tidak kekurangan suatu apapun.

Setelah kita memahami bahwa ujian iman itu adalah demi untuk kebaikan kita maka bukan berarti doa Bapa kami yang Tuhan ajarkan tidak relevan, yaitu ... jauhkanlah kami dari pencobaan.... Tidak! Di satu pihak, ketika kita jatuh dalam pencobaan kita menganggap itu sebagai kebahagiaan namun ketika kita belum jatuh dalam pencobaan maka tidak perlu kita menjatuhkan diri supaya jatuh dalam pencobaan. Injil Matius mencatat, Yesus dibawa oleh Roh ke padang gurun untuk dicobai iblis (Mat. 4:1). Kata “dibawa oleh Roh“ yang dipakai sangatlah unik, yaitu kata yang dipakai ini biasa dipakai oleh Yesus untuk menengking setan, jadi, bukan Yesus sendiri yang berjalan masuk ke padang gurun. Yesus dihempaskan oleh Roh untuk masuk ke padang gurun untuk dicobai iblis. Jadi, bukan berarti kita boleh mencari-cari pencobaan atau setelah kita memahami Firman Tuhan, bukan berarti pula rasa kegentaran dan kekuatiran kita akan menjadi hilang. Tidak! Kegentaran dan kekuatiran itu mungkin masih tetap ada tapi bagaimana kita menganggap kesulitan itu sebagai suatu kebahagiaan maka itu menjadi tekad setiap anak Tuhan yang mau taat menjalankan Firman-Nya. Ingat, iman kita sangatlah berharga sehingga layak untuk diuji dan kalau kita mempunyai kerinduan bukan hanya sekedar ingin lepas dari masalah namun kita ingin mencapai pertumbuhan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, yaitu menjadi sempurna dan tidak kekurangan suatu apapun maka Firman Tuhan ini seharusnya menguatkan kita dengan demikian kita dapat dipakai Tuhan menjadi alat-Nya dan menjadi berkat bagi orang lain. Amin.

(sumber : kawanjaja.blogspot.com/ 2006/01/kotbah-di-atas-bukit.html - 32k -)


Tidak ada komentar: