Sabtu, 24 Oktober 2009

CINTA KASIH SEJATI


“CINTA KASIH SEJATI”
(KIDUNG AGUNG 8: 6-7)
Oleh: Pdt Gani Wiyono


Seorang siswa SMU ditugaskan untuk mendefinisikan “cinta” secara komprehensif. Tugas semacam ini mengharuskan ia untuk mencari nara sumber dari berbagai disiplin ilmu. Yang dilakukannya adalah meminta pendapat guru-gurunya mengenai kata cinta menurut disiplin ilmu yang dikuasainya, Inilah hasil petikan wawancaranya:
· Menurut Guru Fisika: “Cinta” adalah gaya tarik-menarik diantara dua insan yang berlawanan jenis yang bekerja menurut Hukum Newton: F = k. Q1.Q2/r.r.
Jadi karena cinta berbanding terbalik dengan kuadrat jarak, maka menurut hukum ini dapat diramalkan bahwa kekuatan cinta akan semakin melemah bila jarak yang memisahkan dua insan itu semakin jauh.

· Menurut Guru Biologi: “Cinta” adalah hubungan di antara dua insan yang berlainan jenis yang dibangun di atas dasar hubungan saling-menguntungkan dengan tujuan akhir adalah meneruskan garis keturunan.

· Menurut Guru Akuntasi: Cinta adalah suatu transaksi ekonomi yang menyebabkan kolom kredit pada kitab pembukuan semakin penuh.

· Menurut Guru Sejarah: Cinta adalah benda antik yang ditemukan secara tidak sengaja oleh orang yang sedang jatuh cinta.

· Menurut Guru Tata Negara: Cinta adalah hubungan diplomatik di antara dua insan yang masing-masing memiliki tujuan tertentu.

· Menurut Guru Pendidikan Jasmani: Cnta adalah suatu cabang olahraga yang menyebabkan orang dag-dig dug jantungnya dan kelelahan sewaktu menjalaninya.



Berbicara mengenai cinta memang tidak ada habisnya. Mendefinisikan “cinta” memang tak pernah tuntas dan bukan tugas yang mudah. Namun, berbicara mengenai cinta, selalu menarik perhatian. Jadi jangan heran, bila lagu-lagu, puisi-puisi, dan drama-drama didominasi oleh tema-tema cinta. Bahkan sebuah hari khusus, kini diabadikan bagi “Cinta” – Valentine’s Day. Kurang lebih dua puluh lima tahun yang lalu hanya sedikit orang di Negara ini yang mendengar akan keberadaan hari Valentine. Namun kini, praktis hampir semua orang mengenal bahkan merayakan Valentine’s Day yang jatuh pada tanggal 14 Februari. Terlepas dari kontroversi mengenai perlu atau tidak perlunya gereja merayakan Hari itu, “cinta-kasih” adalah satu satu topik penting yang banyak disoroti oleh para penulis Alkitab. Kali ini saya akan mengupas topik tersebut dari salah satu teks Kitab Suci - Kidung Agung 8: 6-7.



Pembacaan harafiah dari perikop ini, paling tidak akan menyingkapkan tiga gagasan penting mengenai cinta yang harus dimiliki oleh setiap orang yang akan dan sedang menjalin hubungan cinta yang serius dan permanen dengan lawan jenisnya,



· Pertama, Cinta itu total. Perhatikan kata “hati” yang menurut seorang pakar Perjanjian lama (PL), Dr. David Allan Hubbard menunjuk pada segi-segi yang tidak kelihatan (inward)’. Perhatikan kata “lengan” yang menunjuk pada segi-segi yang tampak (outward). Cinta kasih Kristen adalah cinta kasih yang lahir dari dalam batin dan terwujud dalam tindakan lahir. Cinta yang hanya terpendam di hati namun tidak pernah terungkap lewat bibir dan terwujud dalam tindakan kasih bukanlah cinta kasih kristiani. Cinta yang hanya terwujud dalam ungkapan manis (“I love You”) namun tidak lahir dari hati yang penuh cinta adalah kemunafikan. Cinta kasih Kristen adalah cinta yang terukir di hati dan terungkap dalam kata dan terbukti dalam perbuatan.



· Cinta itu eksklusif. Perhatikan ayat 6, menurut, salah seorang pakar PL, Prof. Roland E. Murphy kata-kata tersebut harus dipahami dalam kerangka budaya orang-orang Timur dekat yang punya kebiasaan untuk mengenakan sesuatu yang menjadi milik orang yang dikasihi entah dalam bentuk yang dapat dikalungkan di leher atau dikenakan seperti cincin di lengannya. Praktek-praktek itu tentu punya tujuan tertentu. Pengenaan benda-benda tersebut tentunya dimaksudkan untuk mengingatkan pihak-pihak yang terlibat dalam cinta, bahwa mereka saling memiliki, bahwa tak boleh ada pihak ketiga atau keempat yang boleh masuk dalam hubungan interpersonal mereka. Hubungan cinta di antara pasangan-pasangan Kristenpun harus bersifat eksklusif. Tidak ada tempat bagi “poligami” (punya lebih dari satu isteri) atau “poliandri” (punya lebih dari satu suami). Tidak ada tempat bagi wanita idaman yang lain atau pria idaman yang lain. Dan hal itu baru bisa terjadi kalau ada yang namanya “fidelitas” – kesetiaan!



· Cinta itu kuat, punya daya tahan yang luar biasa. Lihat gambaran puitis yang begitu indah. Kekuatan cinta digambarkan sekuat kuasa maut, yang pantang menyerah dalam mengejar “manusia yang hidup”. Kekuatan cinta digambarkan seperti api ilahi yang tak mungkin dipadamkan oleh kekuatan-kekuatan kekacauan (the power of chaos) yang dalam PL seringkali digambarkan secara kiasan dalam bentuk “air” atau laut. Kekuatan kasih Kristen seharusnya tak dapat dipatahkan oleh kekuatan-kekuatan chaos yang sedang bekerja di dunia ini – entah itu yang muncul dalam bentuk krisis ekonomi, gangguan kesehatan atau kehadiran lawan jenis yang punya penampilan menarik.



o Sebuah film, yang berjudul “A Beautiful Mind” telah memenangkan Piala Oscar beberapa tahun silam. Film yang dibintangi oleh Russel Crowe, ini diangkat dari kisah nyata tentang kehidupan John Nash pemenang hadiah Nobel untuk bidang ekonomi. John Nash adalah seorang yang brilliant, namun sayang dia mengalami gangguan kejiwaan yang disebut sebagai schizophrenia. Penyakit jiwa tersebut sedemikian parah hingga ia harus berhenti mengajar di alma-maternya, Princeton University, dan diasingkan di rumah sakit jiwa. Untungnya, John nash punya seorang isteri yang mengasihi dirinya secara total. Meski John Nash tak lagi produktif, dan justru menjadi beban keluarga, Nyonya Nash terus mendampingi dan mendukung suaminya hingga secara berangsur John Nash bisa mengatasi gangguan kejiwaan, kembali mengajar di Princeton, dan akhirnya meraih Hadiah Nobel yang amat bergengsi itu. Pada saat upacara penerimaan Hadiah yang dimimpikan oleh ilmuwan manapun di dunia itu Nash menyatakan bahwa semua pencapaian besar ini bisa terjadi karena ia memiliki seorang isteri yang kasihnya begitu kuat, sebuah kasih tak tergoyahkan oleh berbagai macam gelombang badai kehidupan.



Ada satu catatan lain yang perlu kita perhitungkan ketika kita berbicara mengenai cinta dari sudut pandang Kitab Kidung Agung. Kitab Kidung Agung adalah salah satu kitab dari 5 kitab (Kidung Agung, Ruth, Pengkhotbah, Ratapan, dan Ester) yang disebut dengan nama “Megilloth” – Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab yang selalu dibaca oleh orang Israel pada hari-hari raya mereka. Bila Kitab Ruth dibaca pada hari Pentakosta, Kitab Ratapan pada hari kesembilan pada bulan Ab, Kitab Pengkhotbah pada Hari Raya Pondok Daun, dan Kitab Ester pada hari raya Purim, maka kitab Kitab Kidung Agung dibaca pada hari raya Paskah. Padahal Paskah adalah hari yang dikhususkan oleh bangsa Yahudi untuk memperingati kasih Allah yang luar biasa besar kepada kepada mereka dan sekaligus kerinduan dan tekad dari Israel untuk mengasihi Allah dengan segenap kekuatan mereka. Jadi jelas, konteks teologis dari Kitab Kidung Agung adalah hubungan kasih di antara Allah dan umatNya. Beranjak dari pemahaman inilah, bukanlah hal yang mengada-ada kalau kita menerapkan tiga gagasan cinta yang telah dibahas di atas ke dalam dimensi hubungan vertikal di antara Allah dan kita, umat manusia.



· Itu berarti kasih kita kepada Allah haruslah total, menyeluruh, lahir dan batin, internal dan eksternal. Kasih kepada Allah bukan hanya diwujudkan dalam ungkapan verbal atau kerinduan di dalam hati saja, melainkan juga dalam tindakan.

· Itu berarti juga kasih kita kepada Allah haruslah eksklusif. Tidak boleh ada ilah lain di dalam kehidupan kita. Hal-hal yang menggantikan kedudukan Allah sebagai pusat dalam kehidupan kita harus dirobohkan. Bahkan kasih kita kepada diri sendiri ataupun orang-orang lain harus ditundukkan di bawah kasih kita kepada Allah.

· Pada akhirnya, itu berarti juga kasih kita kepada Allah haruslah kuat dan tak tergoyahkan. Hannah Withall Smith, seorang penulis Kristen yang terkemuka di abad XIX, adalah seorang yang banyak menjumpai badai kehidupan. Suaminya seorang hamba Tuhan yang dipakai oleh Allah, namun pada akhirnya terjebak dalam ajaran yang kurang sehat yang akhirnya membawa dia keluar dari jalan anugerah dan menjadi pemeluk agama Budha. Anak-anaknya menikah dengan atheis. Dan ia sendiri terserang radang sendi yang parah, yang membuatnya hanya bisa berjalan dengan bantuan kursi roda. Meskipun demikian cintanya kepada Alllah tetap kuat dan tak tergoyahkan. Dia menulis sebuah buku “The God of All Comfort” (Allah Sumber Segala Penghiburan). Tak heran, Selama puluhan tahun begitu banyak yang hidupnya tersentuh dan diubahkan kala membaca buku karya Hana itu. Meski angin kehidupan bertiup keras, meski badai kesulitan mengamuk, dan berteriak di mana Allah yang mengasihimu, kasih kita kepada Allah tidak boleh tergoyahkan.


sumber : http://www.icaindonesiahk.org/artikel-rohani-terang/59-cintakasihsejati

Sejarah Gereja Dunia


Akulah gembala yang baik dan Aku mengenal domba-dombaKu dan domba-dombaKu mengenalKu.(Yoh 10:14)


Kata “gereja” sebenarnya berasal dari kata “igraja” yang diperkenalkan di Indonesia oleh para misionaris Portugis. Kata “igraja” tersebut berasal dari kata Latin “ecclesia” yang pada awalnya berasal dari bahasa Yunani kuno yaitu “ekklesia” yang artinya “kumpulan” atau “pertemuan”. Akan tetapi arti sesungguhnya dari “gereja” adalah umat yang dipanggil Tuhan. Didalam Kitab Suci Perjanjian Baru, ada tiga “nama” yang dipakai untuk menjelaskan tentang gereja, yaitu “Umat Allah”, “Tubuh Kristus” dan “Bait Roh Kudus” (1Kor 10:32, 11:17-22, 15:9). Ketiganya berkaitan erat satu dengan yang lainnya. Didalam Katekismus Gereja Katolik (“Catechims of The Catholic Church”) kata “gereja” dirumuskan sebagai “himpunan orang-orang yang ‘digerakkan untuk berkumpul’ oleh Firman Allah, yakni, berhimpun bersama untuk membentuk Umat Allah dan yang diberi santapan dengan Tubuh Kristus, menjadi Tubuh Kristus” (No. 777).



Kata “Katolik” berarti “univeral”, “memiliki sifat-sifat totalitas”> atau “utuh”. Dengan demikian Gereja Katolik adalah universal, dimana setiap orang telah dipanggil untuk membawa kabar sukacita Injil kepada setiap orang, kepada setiap bangsa, kepada setiap penjuru dunia. Sejarah Gereja Katolik berasal dari percakapan antara Tuhan Yesus dan Petrus. Yesus berkata,”Sebab itu ketahuilah, engkau Petrus, batu yang kuat. Dan diatas alas batu inilah aku akan membangun gereja-Ku, yang tidak dapat dikalahkan: sekalipun oleh maut!” (Mat 16:18) (“Thou art Peter [Greek for ‘rock’], and upon this rock I will build my church; and the gates of hell shall not prevail against it”).

Umat Katolik percaya bahwa Gereja Katolik adalah gereja yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus. Pusat gereja Katolik di dunia, gereja Santo Petrus Basilica (St. Peter’s Basilica) yang dibangun di Vatikan, adalah tempat dimana Santo Petrus dimakamkan. Saat ini, makam dari Santo Petrus berada di dalam tanah, persis dibawah altar utama di antara tiang-tiang penopang kubah Bernini. Menurut catatan Kitab Suci Perjanjian Baru pada jaman Yesus, Petrus adalah pribadi yang sangat menonjol diantara murid-muridNya yang lain. Setelah Yesus disalib, peran Petrus semakin penting didalam perkembangan para pengikut Yesus pada jaman awal tersebut.

Petrus diperkirakan lahir pada tahun 4 Sebelum Masehi, dan wafat antara tahun 64 atau 68 Setelah Masehi. Ia lahir di Bethasida, disisi Danau Galiela. Sebagai seorang nelayan, ia bersama dengan tiga rekannya yang lain menjadi murid-murid Yesus. Nama asalnya adalah Simon (atau Symeon) namun Yesus memberinya nama Petrus. Walaupun mungkin pendidikannya sangat terbatas (Kis 4:13) ia adalah tokoh yang sangat berperan didalam sejarah awal mula agama Katolik.

Sebelum Yesus wafat, Petrus adalah seorang yang keras kepala, emosinya seringkali tidak terkendali dan penuh keraguan. Tetapi setelah Yesus naik kesurga dan ia dipenuhi oleh Roh Kudus, Petrus menjadi sosok yang beriman dan tidak gentar sedikitpun dalam menghadapi berbagai rintangan dalam hidupnya. Menurut catatan ahli sejarah Eusebius (c.260-c.340) Santo Petrus wafat sebagai martir, pada sekitar tahun 64 Setelah Masehi yaitu pada jaman pemerintahan Kaisar Nero (54-68). Menurut catatan dari Origen (c.184-c.253) seorang ahli teologi, Santo Petrus dihukum dengan disalibkan secara terbalik, dengan tujuan agar ia tidak menyamai penyaliban Tuhan Yesus.

Gereja pada saat itu mencoba untuk berpusat di Roma – tempat yang merupakan pusat kegiatan sekuler sekaligus tempat wafatnya Santo Petrus. Setiap penerus dari Santo Petrus dikenal dengan nama “Uskup Roma” (“Bishop of Rome”) atau disebut “Paus” (“Pope”) pada saat itu. Pada saat Kerajaan Romawi terpecah menjadi dua, yaitu Bagian Barat dan Bagian Timur, ke-Kristenan merupakan agama dari kedua negara bagian, sehingga hanya figur Paus itulah yang diharapkan menjadi pemersatu agar tidak terjadi perpecahan yang lebih menghancurkan lagi. Agama Katolik terus berkembang keseluruh pelosok bumi hingga hari ini. Agama Katolik merupakan agama yang sangat berperan dalam peradaban manusia modern dan dalam penyampaian Injil ke berbagai bangsa di dunia.


Sumber : www.katolik.net


Sejarah Gereja Umum


SEJARAH GEREJA I

1. Gereja Berada Dalam Pemerintahan Romawi
Wilayah kekaisaran Romawi mulai selat Gibraltar sampai sungai Frat, dan dari tanah Mesir sampai Inggris. Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pergaulan, yaitu bahasa Yunani yang pada zaman itu disebut bahasa Koine. Dalam wilayah agama Romawi yang luas itu terdapat sejumlah besar agama suku. Namun banyak orang tidak puas lagi dengan agama-agama yang lama dan mereka mencari jalan keselamatan dalam berbagai macam kepercayaan. Banyak juga yang memeluk agama Yahudi. Di Mesopotamia terdapat agama Babilonia dengan kepercayaannya kepada pengaruh takdir atas kehidupan manusia. Di daerah Iran terdapat agama Zoroaster yang oleh raja-raja Persia sesudah tahun 225 dijadikan agama Negara. Dari sudut kebudayaan yang paling menonjol adalah kebudayaan Hellenisme. Kebudayaan ini meneruskan kebudayaan Yunani dari zaman kejayaan kota Atena (abad 5 dan 3 sM). Selain itu ada upaya untuk mengawinkan agama Yahudi dengan Hellenisme, misalnya Philo dari Alexandria tahun 40.


Pada tahap awal, agama Yahudi yang paling besar mempengaruhi kehidupan gereja. Sebagaimana diketahui pada abad pertama Masehi bangsa hidup hidup terserak di wilayah kekaisaran Romawi dan di luar wilayah tersebut. Yang tinggal di Palestina hanya sekitar 1 juta orang. Hubungan orang Yahui dengan bangsa-bangsa lain waktu itu kurang harmonis. Ketaatan orang-orang Yahudi kepada Taurat menyebabkan mereka harus hidup terasing dari orang-orang di sekitarnya. Orang-orang Yahudi menganggap di luar agama mereka sebagai agama politheis. Walau demikian, banyak juga orang yang bukan Yahudi justru tertarik kepada agama Yahudi yang monotheistis. Mereka yang memeluk agama Yahudi tersebut disebut orang-orang proselit.

Filsafat zaman Yunani-Romawi berusaha memberi pegangan baru kepada manusia. Salah satu filsafat Yunani yang berpengaruh adalah filsafat Platonisme. Aliran ini berasal dari Plato (375 sM). Pada abad III aliran ini mendapat bentuk yang baru dalam filsafat Platonis, yang diberi nama “Neo-Platonisme”. Ciri-ciri utama filsafat Platonisme adalah bahwa Allah berada jauh tak terhingga di atas dunia dan manusia. Tentang Dia tidak dapat diungkapkan dengan apapun: Ia tidak bergerak, tidak bertindak, tidak memperkenalkan diri, tidak mempunyai nama. Tetapi dari padaNya mengalir Nous (= roh, pemikiran). Selain itu juga mengalir Logos (=firman) yang menyatakan Nous Allah di dalam roh manusia dan dalam tata-tertib dunia ini. Nous dan Logos merupakan pengantara antara Allah dengan manusia serta dunia. Mereka bersifat ilahi, tetapi kadar “keilahiannya” tidak sampai kepada kesempurnaan mutlak. Jadi dalam filsafat ini hakikat Allah dipahami secara bertingkat.

2. Abad Pertama Sejarah Gereja
Dalam perkembangan ajarannya, gereja akhirnya menyadari bahwa ketaatan kepada hukum Taurat tidak boleh lagi dianggap sebagai syarat mutlak untuk memperoleh keselamatan. Pemahaman itu menyebabkan gereja tidak lagi membatasi dirinya kepada orang-orang Yahudi. Gereja meluas dan masuk di tengah-tengah dunia orang bukan Yahudi. Jadi sebelum itu orang Kristen pertama terdiri orang-orang Yahudi, yang mana mereka tetap mengunjungi Bait Allah serta sinogoge, dan mereka mentaati hukum Taurat. Ketika gereja dapat berhasil berkembang ke dalam dunia orang kafir, gereja menghadapi persoalan teologis. Bagaimana dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi itu? Orang-orang Kristen mentaati hukum Taurat. Apakah orang-orang Kristen bukan Yahudi juga harus mentaati hukum Taurat? Dalam hal ini sikap Paulus sangat tegas, bahwa tidak perlu bagi orang-orang Kristen untuk mentaati hukum Taurat sebagai syarat untuk memperoleh keselamatan. Tetapi banyak orang Kristen-Yahudi yang tetap mempertahankan Taurat sebagai syarat keselamatan (Gal 2-3) sebagai syarat keselamatan. Kelompok ini disebut sebagai orang-orang Yudais.

Pada awal perkembangan gereja, salah satu pusat PI yang utama adalah Antiokhia. Di sini pertama kali muncul jemaat yang terdiri dari orang-orang kafir (Kis. 11:20). Jemaat ini dipakai Tuhan sebagai alat untuk membawa Injil ke daerah-daerah yang lebih jauh. Utusan jemaat Antiokhia yang terkenal adalah Paulus. Ia mengabarkan Injil di wilayah Asia Kecil (sekarang Turki) dan di Yunani (45-57). Pengaruh agama Kristen yang paling besar adalah Asia Kecil. Bila PI tidak mudah bergerak ke Timur. Sebab orang menghadapi rintangan berupa tapal batas antara kekaisaran Romawi dan kerajaan Persia. Kedua Negara ini saling berperang. Selain itu bahasa Yunani jarang dipakai di Timur, dan kebudayaan Hellenisme kurang berpengaruh di Timur.

Cara pengungkapan iman Kristen pada abad II menggunakan Didache (= pengajaran). Salah satu tulisan yang terkenal sesudah zaman para rasul adalah Didache yang ditulis di Siria (tahun 100). Kitab ini singkat seperti surat Yakobus. Isi kitab Didache adalah pembaca dihadapkan pilihan jalan kehidupan dan jalan maut. Juga berisi kebiasaan-kebiasaan berpuasa, berdoa, ibadah khususnya perayaan sakramen-sakramen, dan tata-gereja). Dalam kitab Didache, agama Yahudi dan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi ditolak dengan keras, sedangkan corak pemikiran dan inti agama Yahudi tetap dipertahankan. Selain Didache terdapat pula surat-surat yang ditulis oleh Bapa-bapa gereja, seperti Ignatius (tahun 110). Ia menulis 7 surat kepada beberapa jemaat di Asia Kecil bagian Barat dan kepada jemaat di Roma. Juga terdapat surat dari Yustinus Martir (tahun 165). Dari ajarannya, Yustinus Martir sangat dipengaruhi oleh filsafat Stoa tentang konsep Logos, sehingga Yesus dipandang sebagai mediator Ilahi yaitu menjadi pengantara antara Allah dan dunia. Karena itu Kristus berada di bawah Allah. Selain itu terdapat tokoh bernama Bardaisan (tahun 154-222) yang dahulu seorang bangsawan dari Edessa. Ia sangat terpengaruh oleh astrologi (ilmu nujum) dari Babilonia kuno yang percaya bahwa bintang-bintang mempengaruhi kehidupan manusia. Setelah menjadi Kristen, Bardaisan merumuskan jawabannya dalam bukunya yang berjudul “Takdir”. Walau ia percaya pada pengaruh bintang, tetapi ia juga menekankan sikap manusia yang menentukan.

Pada zaman PB telah tersusun konsep Tata-Gereja. Di setiap jemaat terdapat penatua (presbuteroi). Dari antara mereka dipilih para penilik (episkopoi) yang dibantu oleh Diaken-Diaken (diakonoi). Di samping itu terdapat pula pengajar dan nabi. Mereka tidak dipilih tetapi dihormati karena memiliki karunia-karunia Roh yang dianugerahkan. Tampaknya golongan ini sangat berpengaruh. Semula dalam gereja awal tidak terdapat perbedaan tingkat, tetapi sekitar tahun 100 para “penilik” mulai menganggap para pelayan yang lain sebagai bawahannya. Karena itu kemudian ditetapkan suatu hirarkhi (urutan pangkat): penilik-penatua-diaken. Kemudian agar lebih praktis, pimpinan dilaksanakan oleh satu orang, maka mulailah lazim ada satu Penilik untuk seluruh jemaat. Kelak jabatan Penilik ini berubah menjadi Uskup. Sehingga Uskuplah yang berkuasa dalam jemaat bagai seorang raja dalam wilayah kerajaannya. Bila timbul masalah berat, para Uskup dari tiap-tiap jemaat tersebut berkumpul dalam rapat sinode. Sinode pertama dari para Uskup diadakan tahun 180. Dalam sistem ini di mana Uskup-Uskup bersama-sama berkuasa dalam gereja disebut dengan “Episkopalisme”. Sistem pemerintahan gereja ini masih terdapat dalam gereja Orthodoks-Timur (di Rusia dan Eropa Tenggara) dan dalam Gereja Anglikan. Mula-mula gereja di Eropa Barat memakai sistem Episkopal, tetapi Uskup Roma yang disebut Paus mengklaim memiliki seluruh kekuasaan, sehingga ia memerintah atas Gereja Katolik Roma.

3. Tantangan Gnostik dan Sikap Gereja
Kata “gnostik” berasal dari kata Yunani “gnosis” = pengetahuan. Mereka merasa memiliki pengetahuan baru dan jauh lebih tinggi dari iman Kristen. Mereka beranggapan bahwa dunia yang penuh penderitaan ini tidak mungkin berasal ciptaan Allah yang baik. Tubuh dipandang sebagai yang hina dan kotor. Karena itu Kristus datang ke dunia bukan untuk menebus tubuh manusia, tetapi jiwa manusia yang dahulu adalah suci. Karena itu pula Yesus dianggap hanya memiliki tubuh maya, bukan tubuh yang sesungguhnya. Yesus tidak mati sungguh-sungguh di kayu salib. Ia menebus manusia bukan dengan kematianNya, tetapi dengan pengajaranNya. Untuk selamat manusia harus melakukan askese dan mistik, yaitu usaha untuk membuka hubungan yang langsung dengan Allah dan jiwa yang bersifat ilahi itu. Orang-orang Gnostik ini menyusun beberapa “Injil” antara lain “Injil Thomas”. Di dalamnya terdapat kata-kata Yesus yang asli, tetapi kemudian kata-kata Yesus diolah sedemikian rupa untuk membenarkan ajaran/pandangan Gnostik. Tentunya bagi gereja, Gnostik merupakan tantangan yang sangat berat. Itu sebabnya dalam surat-surat rasul Paulus, bahkan Injil Yohanes kita dapat melihat pergulatan tersebut.

Untuk melawan ajaran Gnostik itu para bapa gereja mendirikan 3 strategi, yaitu membuat kanon Alkitab, Pengakuan Iman, dan Uskup. Dalam penyunanan Kanon (= ukuran, patokan) gereja sudah memiliki PL. Karena itu gereja tidak membuang PL untuk menyatakan kebenaran Allah. Injil dan surat-surat para rasul dinyatakan sebagai firman Allah. Untuk itu gereja harus membuat pilihan, kitab atau surat yang manakah benar-benar berasal dari murid Tuhan. Pada tahun 200 telah tersusun daftar PB sebagai kanon. Selain itu gereja juga membuat ringkasan pokok-pokok kepercayaan yang menjadi pegangan jemaat. Pengakuan iman yang tertua: ”Yesus adalah Tuhan” (I Kor. 12:3). Kemudian pengakuan itu berkembang menjadi Pengakuan Iman Rasuli.

Soal Uskup menjadi penting peranannya karena ia dianggap berwenang mengartikan ajaran Alkitab. Sebab mereka dipandang sebagai pengganti para rasul. Uskup-uskup inilah yang kemudian meneruskan ajaran iman Kristen kepada jemaat. Hanya kemudian timbul persoalan: siapa yang berkuasa: Kanon Alkitab ataukah Uskup? Gereja Roma menganggap Uskup Roma yaitu Paus sebagai pengganti rasul Petrus sehingga Paus memiliki wewenang untuk menafsirkan Alkitab. Reformasi abad XVI memprotes anggapan tersebut. Reformasi menegaskan bahwa penahbisan para pejabat gereja tidak terlepas dari firman Allah. Pandangan gereja-gereja Reformatoris tersebut tidak diterima oleh gereja Katolik Roma, gereja Orthodoks Timur dan Anglikan yang berpegang pada pewarisan jabatan rasul-rasul selaku dasar kekuasaan jabatan.

Dengan ketiga “benteng” tersebut (kanon, pengakuan iman, uskup) dalam perkembangannya gereja merasa sudah “establish”, sehingga banyak orang Kristen tidak memiliki kerinduan akan kedatangan Tuhan Yesus seperti zaman para rasul. Karena itu muncullah gerakan Montanisme. Dalam ajaran Montanisme menekankan: harapan lama akan kedatangan Tuhan kembali, karunia-karunia Roh, disiplin gerejawi yang keras. Dalam hal ini Montanus (tahun 160) menyatakan bahwa di dalam dirinya sudah datang Roh Penolong yang dijanjikan oleh Yesus (Yoh. 14:6, 26). Dua wanita yang mendampinginya. Isi pernyataan mereka disampaikan dalam bahasa lidah, yang isinya bahwa akhir dunia sudah sampai. Karena itu jangan lagi kawin, tetapi berpuasalah dan tinggalkanlah dunia untuk berkumpul di Pepuza (sebuah desa di Asia Kecil) karena di sana Tuhan akan segera mendirikan Yerusalem yang baru. Orang berbondong-bondong datang sesudah menjual segala harta-bendanya. Mereka rajin mencatat pernyataan-pernyataan dari mulut pemimpin mereka dan menganggap setara dengan Alkitab. Tetapi ternyata pada hari yang ditentukan hari Tuhan tidak datang. Walau demikian, gerakan Montanisme tetap hidup dan tersebar ke berbagai propinsi. Gerakan ini bertahan sampai abab IV, lalu hilang. Tetapi di kemudian hari timbul kembali.

4. Penganiayaan dan Penghormatan
Semula gereja dianiaya, dihambat dan secara sistematis berusaha dihancurkan sampai tahun 250. Saat itu Negara mengambil inisiatif untuk secara sistematis memusnahkan agama Kristen. Dalam hal ini kaisar Decius (250) dan kaisar Diocletianus (300) adalah para tokoh yang sangat membenci agama Kristen. Tetapi keadaan berubah sejak kaisar Konstantinus Agung (312-337) dengan mengeluarkan edit Milano (313). Sikap Konstantinus berubah ketika sebelum melakukan pertempuran untuk merebut takhta di Roma (312) ia melihat sinar terang dalam bentuk salib di langit, disertai perkataan: “dengan tanda ini engkau akan menang”. Sesudah berhasil merebut takhta, maka pada tahun 313 ia mengumumkan gereja memperoleh kebebasan penuh. Malahan semua milik gereja yang telah dirampas selama penghambatan harus dikembalikan. Pada waktu pengumuman edik Milano tersebut, Konstantinus belum menjadi Kristen. Dalam perkembangannya gereja mulai dianakemaskan. Negara memberi banyak uang untuk mendirikan gedung-gedung gereja yang baru. Selain itu Negara juga memaksa semua anggota sekte Kristen untuk masuk menjadi anggota gereja. Pada tahun 380 kaisar Theodosius mengeluarkan peraturan bahwa segenap rakyat harus menganut agama Kristen, yaitu agama Kristen Orthodoks. Walau di sisi lain para kaisar mendukung gereja, tetapi pada sisi lain mereka juga ingin memperoleh pengaruh dari gereja. Mereka berusaha agar para Uskup yang dipilih adalah mereka yang memihak kepada pemerintah. Gereja harus mengutuk musuh-musuh kaisar. Apabila terjadi persoalan dalam gereja, kaisar ikut campur dan dapat membuang tokoh-tokoh yang yang tidak disukai. Dengan keadaan itu gereja menjadi kaya raya dan jumlah orang Kristen menjadi melonjak drastis. Keadaan itu tidak membuat banyak orang Kristen puas, karena itu mereka memilih pergi hidup menyendiri untuk beraskese. Mereka prihatin karena banyak orang Kristen mengabaikan hidup penyangkalan diri sebagaimana yang diajarkan oleh Tuhan Yesus. Karena itu lahirlah biara dalam kehidupan gereja.
KURSUS SABAT
SEJARAH GEREJA II


Teologia dan Kepercayaan Abad Pertengahan
Ciri teologia dan kepercayaan abad pertengahan pada prinsipnya merupakan suatu kompromi antara ajaran Alkitab dengan filsafat Yunani, dan juga suatu kompromi antara kesalehan yang bersifat alkitabiah dengan agama kafir (Yunani dan Romawi yang tersebar di Eropa sebelumnya datangnya agama Kristen. Sebagaimana diketahui sesudah tahun 1000, orang-orang Eropah Barat mulai memperhatikan kembali tulisan filsafat Yunani khususnya tulisan dari Plato dan Aristoteles. Karena pengaruh itu gereja berusaha untuk menyelaraskan ajaran gereja dengan filsafat Yunani. Aliran teologia inilah yang kita sebut dengan teologia Scholastik.

Sikap gereja yang lebih cenderung untuk menyelaraskan dengan filsafat Yunani, karena pada zaman itu filsafat Yunani terutama Plato dan Aristoteles begitu berpengaruh. Keadaaan itu merupakan ancaman bagi gereja. Bahayanya lebih besar dari pada masalah dan ancaman dari para bidat. Padahal filsafat Aristoteles dan Plato memiliki pemikiran yang sangat berbeda dengan ajaran Alkitab. Jalan keluar yang ditempuh oleh gereja adalah menyelaraskan ajaran gereja dengan filsafat Yunani. Tokoh terkemuka dalam sejarah teologia Scholastik adalah Thomas Aquino (1225-1274), seorang rahib anggota ordo Dominikan. Ia berhasil menampung azas-azas filsafat dalam suatu sistem teologia. Karya utamanya berjudul: Summa Theology. Menurut Thomas, apa yang telah diajarkan oleh para filsuf memang benar, tetapi hanya merupakan kebenaran tingkat bawah/kodrati. Sedang dalam Alkitab, kita dapat menemukan kebenaran adikodrati. Ciri penulisan dari Thomas Aquino adalah ia berbicara tentang Allah dengan menggunakan filsafat Plato dan Aristoteles. Juga terlihat pemikiran Thomas tentang manusia. Menurut iman Kristen, manusia telah dirusak oleh kuasa dosa sehingga ia tidak dapat berbuat sesuatu yang berkenan kepada Allah. Sebaliknya dalam pemikiran Yunani, manusia dipandang secara lebih optimistik. Dalam teologia Scholastik, kedua pandangan tersebut diselaraskan. Allah dan manusia bekerja sama. Manusia tidak dapat menghasilkan perbuatan yang benar. Tetapi Allah mencurahkan anugerahNya ke atas manusia. Anugerah itu adalah suatu kekuatan adikodrati yang disalurkan kepada manusia melalui sakramen. Di antara sakramen-sakramen yang berjumlah 7 tersebut, yang terpenting adalah sakramen Ekaristi.


Kehidupan Gereja Akhir Abad Pertengahan
Selama abad Pertengahan, gereja menekankan agar kepercayaan dan kesalehan dihubungkan dengan sakramen. Pola pendekatan ini dianggap kaku. Sebab kasih karunia Tuhan dapat diperoleh secara otomatis melalui sakramen, perbuatan-perbuatan amal, bahkan kadang-kadang dengan hanya membayar uang, tanpa perubahan hati yang sungguh-sungguh. Karena itu ada beberapa upaya yang menghayati kasih-karunia Tuhan dengan cara mengabdi dan mencari Tuhan dengan segenap hati. Ada 3 cara yang berkembang, yaitu:
a. Mencari Tuhan dengan jalan mistik (tokohnya: Bernhard dari Clairvaux, Eckhart).
b. Mencari Tuhan dengan mendengarkan firmanNya dan memberi kritik terhadap teologia dan kepercayaan gereja pada waktu itu (benih-benih kritik dari para perintis Reformasi, yaitu: Wyclif dan Yohanes Hus).

c. Kembali kepada suasana gereja lama/perdana dan kritik terhadap teologia dan kepercayaan resmi yang tidak sesuai dengan kehidupan gereja perdana (kaum humanis).


Tetapi yang tampak pada akhir abad Pertengahan adalah munculnya tokoh-tokoh mistik, yaitu Bernhard dari Clairvaux (1150) dan Eckhard (1300). Mereka mengajarkan agar manusia dapat mengalami dan merasai Allah secara langsung. Pengalaman ini bukanlah soal akal, tetapi dalam persekutuan mistis dengan Dia sehingga keakuan manusia hilang tenggelam di dalam ke-Allah-an. Dasar pemikiran mistis, karena jiwa manusia bersifat ilahi dan kembali ke asalnya. Tetapi perlu ditegaskan, bahwa para mistikus Kristen pada umumnya tetap mempertahankan perbedaan antara Khalik dengan manusia sebagai mahluk. Bernhard sangat terkesan dengan kemanusian dan kelemahan Kristus. Karena itu ia mengajarkan bahwa jiwa manusia akan mencapai kesatuan dengan Kristus melalui 3 tahap, yaitu: a). Bila melihat Kristus, jiwa itu akan menyesali dosa dan bertobat, b). jiwa itu memikirkan dan mencoba meneladani kasih Kristus yang tampak dalam penderitaanNya, c). jiwa itu dilimpahi dengan kasih Kristus dan dinyalakan oleh api kasihNya. Sedangkan Eckhard lebih berani berbicara tentang kemungkinan persatuan jiwa dengan Allah. Pada tingkat kesadaran dan persatuan yang tertinggi, manusia dapat begitu dekat dengan Allah sehingga tidak dapat dibedakan lagi denganNya.

Di samping itu telah berkembang para perintis Reformasi, yaitu Wyclif dan Yohanes Hus. Menurut para perintis reformasi ini, Alkitab harus merupakan pusat perhatian dari Gereja, karena itu Wyclif (1350) menterjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Inggris. Mereka juga mengecam kekayaan yang ditumpuk oleh gereja dan kekuasaan kaum klerus atas kaum awam, serta menolak ajaran transubtansiasi.

Sedang kaum humanis yang ingin kembali ke suasana gereja perdana, salah seorang tokohnya adalah Erasmus (1500). Aliran humanisme sudah muncul sejak abad XIV. Mereka menginginkan agar orang-orang Kristen mencari kebaikan bukan dengan berbagai macam upacara dan latihan lahiriah; melainkan dengan mempelajari Alkitab dan mengikuti teladan Kristus dengan kerendahan hati dan pelayanan kepada sesama manusia. Karena itu kaum humanisme menerbitkan Perjanjian Baru dalam bahasa Yunani, dan menghidupkan kembali studi bahasa asli Perjanjian Lama yaitu bahasa Ibrani.

Secara umum gereja mengalami kemerosotan moral khususnya para pimpinan gereja termasuk Paus melakukan berbagai tindakan yang immoral. Selain itu gereja makin terancam dengan majunya orang-orang Turki yang berhasil merebut kota Konstantinopel tahun 1453, sehingga kekaisaran Romawi Timur hilang dan kemudian orang-orang Turki juga berhasil menduduki seluruh Eropa Tenggara. Sehingga Gereja Orthodoks Timur akhirnya tunduk ke bawah kekuasaan Islam kecuali di Rusia sampai abad XIX.


Reformasi Gereja: Martin Luther
Reformasi gereja lahir dan berkembang di dalam lingkungan gereja dan masyarakat Eropa Barat. Khususnya reformasi tersebut dicetuskan melalui hasil pergumulan seorang rahib Jerman yaitu Martin Luther. Waktu itu cita-cita tentang persatuan semua orang Kristen di bawah pimpinan Paus telah pudar. Martin Luther lahir tanggal 10 Nopember 1483 dan dibesarkan dalam suatu keluarga yang setia kepada gereja Roma Katolik. Umur 21 tahun, Luther memutuskan studinya dan menjadi seorang rahib. Pada tahun 1505 ia masuk biara yang paling keras aturannya, yaitu biara ordo Agustin. Tahun 1507 ia ditahbiskan menjadi seorang Imam. Tahun 1510 ia dikirim ke Roma untuk mengurus perkara bagi ordo Agustin. Setelah itu dua tahun kemudian dia memperoleh gelar doctor dalam bidang Alkitab. Luther seorang rahib yang sangat serius, tetapi ia gelisah soal keselamatannya: “bagaimanakah aku bisa mendapat rahmat Allah”. Sekitar tahun 1514, Luther menemukan jalan keluar dari kesusahannya itu yaitu ketika ia membaca Rom. 1:16-17. Saat itu ia merasa firman Tuhan yang dibacanya itu membebaskan seluruh bebannya. Ia menemukan pencerahan, bahwa manusia hanya dapat beriman, bahwa Allah tidak menuntut tetapi Ia memberi anugerah.

Karena itu yang menyebabkan timbulnya pembaharuan (reformasi) gereja adalah perbedaan antara teologia dan praktek gereja dengan ajaran Alkitab sebagaimana yang diketemukan oleh Luther. Tetapi pemicu reformasi gereja adalah gereja melakukan penjualan surat-surat penghapusan dosa. Di Jerman, banyak imam yang menjual surat-surat penghapusan dosa, salah satu yang terkenal adalah John Tetzel. Untuk itu Luther menentang dan menerbitkan 95 dalilnya yang di pintu gereja Wittenberg pada tanggal 31 Oktober 1517. Ia menegaskan, bahwa: “Bukan sakramen, tetapi imanlah yang menyelamatkan”.

Pada tahun 1519 Luther menyatakan bahwa Paus dapat keliru, dan juga keputusan konsili-konsili dapat salah. Dengan demikian seluruh tradisi gereja yaitu anggapan dan kebiasaan-kebiasaannya tidaklah mutlak sehingga harus diletakkan di bawah Alkitab. Selain itu Luther menegaskan bahwa Paus dan kaum rohaniawan tidak boleh berkuasa atas kaum awam, sebab setiap orang Kristen adalah imam dan ikut bertanggungjawab dalam gereja. Karena itu berkhotbah dan bercocok tanam sama tingkatannya. Hal sakramen, Luther menegaskan bahwa hanya sakramen baptisan dan perjamuan kudus yang memiliki dasar Alkitabiah. Tetapi sakramen tidak dianggap sebagai saluran anugerah ke dalam diri kita. Sakramen hanyalah tanda dari apa yang dinyatakan oleh Firman itu. Akibatnya gereja Roma dan Negara Jerman mengutuk dan mengucilkan Luther, tetapi raja Frederich tetap melindungi Luther. Tahun 1520 keluarlah bulla (surat resmi) dari Paus yang intinya meminta agar Luther menarik ajarannya jika ia tidak mau dikenai hukum gereja. Justru kemudian Luther melawan bulla dari Paus itu. Luther menyampaikan pembelaannya di hadapan kaisar dan raja-raja pada tanggal 18 April 1521. Kemudian keluarlah edik Worms yang menyatakan bahwa Luther bersama pengikutnya dikucilkan dari masyarakat dengan “kutuk kekaisaran”. Tetapi ia diselamatkan oleh raja Frederich yang Bijaksana dan disembunyikan di puri Wartburg untuk sementara waktu. Dalam persembunyiannya, Luther menterjemahkan PB ke dalam bahasa Jerman, dan membuat berbagai tulisan untuk perbaikan gereja, yang mana ia menegaskan bahwa Misa tidak harus dilayani dengan bahasa Latin tetapi dengan bahasa setempat. Selain itu Luhter menegaskan agar khotbah diberi tempat yang lebih wajar dalam kebaktian.

Reformasi: Yohanes Calvin
Yohanes Calvin (1509-1564) berlatar-belakang seorang sarjana hukum Perancis yang berminat dengan ilmu teologia. Setelah ia menjadi pengikut Luther, ia diusir dari tanah airnya dan menjadi Pendeta di kota Jenewa (Swiss). Tahun 1533, ia mengalami Allah telah menaklukkannya sehingga rela menjadi pelayannya. Tahun 1536, ketika ia masih berumur 26 tahun Calvin telah berhasil menyelesaikan kitabnya yang berjudul Institutio, yaitu pengajaran tentang iman Kristen. Calvin setuju dengan ajaran pembenaran karena iman, tetapi lebih dari pada itu ia menekankan penyucian atau kehidupan baru yang harus ditempuh oleh orang Kristen yang bersyukur karena Allah telah menyelamatkannya. Karena itu Calvin menegaskan agar jemaat hidup kudus. Jikalau jemaat melanggar kehidupan kudus tersebut, maka ia akan dikenai disiplin gereja. Untuk itu Negara dan pemerintah Jenewa ikut mengawasi kehidupan para anggota masyarakat. Tetapi Calvin menegaskan bahwa antara gereja dan Negara tidak berada lebih tinggi, tetapi keduanya berdampingan untuk melaksanakan kehendak Allah. Setelah itu Calvin diangkat menjadi Pendeta di kota Strrasburg. Di kota tersebut Calvin menciptakan suatu tata ibadah yang baru. Tata ibadah yang disusun Calvin masih tetap dipakai dalam kebanyakan gereja di Indonesia. Sikap Calvin terhadap warisan gereja Roma Katolik sangat keras. Ia melarang segala hal yang berhubungan dengan suasana gereja Katolik (lilin, pakaian khusus bagi pendeta, altar, patung-patung, bahkan salib-salib ditolak). Sejak tahun 1541 sampai meninggalnya pada tahun 1654, Calvin tinggal lagi di Jenewa. Selama itu ia melanjutkan usahanya untuk mengatur kehidupan jemaat: menyusun Tata Gereja yang baru, berjuang menentang segala sesuatu yang tidak sopan dalam jemaat agar nama Allah dihormati dalam seluruh kehidupan kota. Dalam tulisannya yang berjudul: Undang-Undang Gerejani, Calvin mengajarkan tentang jabatan Penatua dan Diaken (Syamas). Dengan pola jabatan gereja tersebut, maka Calvin telah menghapuskan batas antara klerus dengan awam. Sistem pemerintahan gereja inilah yang dikenal dengan sistem presbiterial. Pengaruh Calvin sangat besar di seluruh Eropa. Tahun 1539 didirikan universitas Jenewa yang menjadi tempat latihan bagi ratusan pendeta dari berbagai negeri. Sehingga kemudian lahirlah gereja-gereja “Calvinis” di berbagai tempat di dunia ini.


Kontra-Reformasi
Karena begitu banyak gereja yang melepaskan diri dari Roma Katolik, maka gereja Roma Katolik melakukan kontra-reformasi. Dalam kontra-reformasi dilakukan gerakan yang melawan pembaharuan gereja yang dipelopori oleh Luther dan Calvin. Tetapi serentak juga merupakan suatu pembaharuan terhadap internal gereja Roma Katolik. Tokoh penggempur untuk melawan gerakan reformasi adalah Ignatius dari Loyola dari Serikut Yesus (1491-1556). Konsili Trente menolak ajaran Reformasi. Selama tahun 1550-1700, gereja Roma Katolik melawan gerakan reformasi, tetapi tidak berhasil memusnahkan hanya mampu membatasi. Untuk itu gereja menegakkan konsili Trente dengan Inkwisisi agar jangan ada penyimpangan dari apa yang telah diputuskan oleh konsili Trente. Hukuman Inkwisisi tidak mengenal bulu sebab hukuman mati dengan dibakar hidup-hidup dikenakan kepada siapa saja yang dianggap bersalah. Hasilnya perjuangan kontra-reformasi adalah kekuasaan gereja Roma dipulihkan dalam wilayah yang luas, hanya di beberapa tempat minoritas Protestan di Eropa Tengah tetapi Inggris dan Belanda tetap Protestan.


sumber : http://yohanesbm.com/index.php?option=com_content&task=view&id=131&Itemid=40


SEJARAH GEREJA MULA-MULA


A. LATAR BELAKANG


Sebelum Yesus naik ke surga, Ia memberikan perintah kepada para murid-Nya untuk pergi ke Yerusalem dan menunggu di sana sampai Roh Kudus dicurahkan ke atas mereka. Dengan kuasa yang diberikan Roh Kudus itu Yesus berjanji akan memperlengkapi murid-murid-Nya untuk menjadi saksi-saksi, bukan hanya di Yerusalem tapi juga di ke ujung-ujung bumi (Kis. 1:1-11). Janji itu digenapi oleh Kristus dan perintah itu ditaati oleh murid-murid-Nya.



B. PERMULAAN GEREJA

Kata "gereja" atau "jemaat" dalam bahasa Yunani adalah ekklesia; dari kata kaleo, artinya "aku memanggil/memerintahkan". Secara umum ekklesia diartikan sebagai perkumpulan orang-orang. Tetapi dalam konteks Perjanjian Baru kata ini mengandung arti khusus, yaitu pertemuan orang-orang Kristen sebagai jemaat untuk menyembah kepada Kristus.

Amanat Agung yang diberikan Kristus sebelum kenaikan ke surga (Mat. 28:19-20) betul-betul dengan setia dijalankan oleh murid-murid-Nya. Sebagai hasilnya lahirlah gereja/jemaat baru baik di Yerusalem, Yudea, Samaria dan juga di perbagai tempat di dunia (ujung-ujung dunia).


1. Gereja Di Palestina

a. Gereja pertama lahir di Yerusalem (Kis. 1:8)
b. Petrus dan beberapa murid-murid Tuhan Yesus yang lain membawa Injil ke Yudea (Kis. ps. 1-7).
c. Filipus dan murid-murid yang lain pergi ke Samaria dan sekitarnya (ps. 8).


2. Gereja di luar Palestina

a. Petrus membawa Injil ke Roma.
b. Paulus ke Asia Kecil dan Eropa (Kis. ps. 10-28).
c. Apolos ke Mesir (Kis. ps. 18).
d. Filipus ke Etiopia (Kis. ps. 8).
e. Sebelum tahun 100 M, Injil sudah tersebar ke Siria, Persia, Afrika (Kis. 9).
f. Lalu ke ujung-ujung bumi (Siria, Persia, Gaul, Afrika Utara, Asia & Eropa).



C. PERTUMBUHAN DAN TANTANGAN


Gereja/jemaat yang baru berdiri mengalami pertumbuhan yang luar biasa. Kuasa Roh Kudus sangat nyata hadir di tengah jemaat. Namun demikian tantangan dan kesulitan juga mewarnai pertumbuhan jemaat mula-mula itu. Tapi luar biasa, justru karena keadaan yang sulit itu gereja semakin berkembang.


1. Agama Negara

Kaisar Agustus mempunyai kekuasaan yang sangat besar. Salah satu peraturan yang muncul pada masa pemerintahannya adalah menyembah kepada Kaisar sebagai dewa mereka, walaupun mereka masih diijinkan melakukan penyembahan kepada dewa-dewa/kepercayaan asal mereka sendiri.

Namun demikian ada kekecualian untuk orang-orang Yahudi yang mempunyai agama Yudaisme yang menjunjung tinggi monotheisme, mereka tidak diharuskan untuk menyembah kepada Kaisar. Hal ini terjadi karena mereka takut kalau orang Yahudi memberontak.

Kehadiran agama Kristen saat itu, pada mulanya dianggap sebagai salah satu sekte agama Yudaisme, itu sebabnya orang-orang Kristen pertama tidak diharuskan untuk menyembah kepada Kaisar. Tetapi setelah orang- orang Yahudi secara terbuka memusuhi orang Kristen (puncak peristiwa penyalipan Kristus) barulah pemerintah Romawi melihat kekristenan tidak lagi sebagai sekte Yudaisme tetapi agama baru. Sejak saat itu keharusan menyembah kepada Kaisar pun akhirnya diberlakukan untuk orang-orang Kristen. Kepada mereka yang tidak patuh pada peraturan ini mendapat hukuman dan penganiayaan yang sangat berat.


2. Penganiayaan terhadap orang Kristen.
Salah satu bukti kesetiaan orang Kristen kepada Kristus ditunjukkan dengan secara setia menjalankan pengajaran Alkitab dan menolak melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran Alkitab. Karena sebab itulah orang-orang Kristen sering harus membayar harga yang mahal demi kepercayaan mereka kepada Kristus, antara lain adalah dengan penganiayaan.

Beberapa penyebab penganiayaan:
a. Karena orang Kristen menolak untuk menyembah Kaisar.
b. Karena orang Kristen dituduh melakukan hal-hal yang menentang kemanusiaan, mis. menolak menjadi tentara, mengajarkan tentang kehancuran dunia, membiarkan perpecahan keluarga, dll.
c. Karena orang Kristen dituduh mempraktekkan immoralitas dan kanibalisme, misalnya melakukan cium kudus, bermabuk-mabukan, dosa inses, makan darah dan daging manusia.


3. Hasil dari penganiayaan.

Memang ada banyak orang Kristen yang mati dalam penganiayaan dan pembunuhan, namun demikian jumlah orang Kristen tidak semakin berkurang malah semakin bertambah banyak.
a. Orang Kristen semakin berani. Sekalipun dianiaya mereka tetap mempertahankan iman mereka (mis. Surat Petrus).
b. Kekristenan semakin menyebar keluar dari Yerusalem, yaitu ke daerah-daerah sekitarnya, dan ke seluruh dunia.
c. Orang-orang Kristen semakin memberi pengaruh dalam kehidupan masyarakat, sehingga mereka betu-betul menjadi saksi yang hidup.


Disalin dari :
http://www.pesta.org/tbiblika



LAHIRNYA JEMAAT KRISTEN

Sewaktu mereka berkumpul di balik pintu terkunci di Yerusalem pada hari-hari pertama setelah kebangkitan Yesus, para murid mengetahui bahwa lebih mudah berbicara tentang mengubah dunia daripada pergi keluar dan melakukannya. Tetapi tidak lama kemudian, sesuatu terjadi yang bukan hanya mengubah jalan pikiran mereka, tetapi yang juga memberanikan mereka untuk menyampaikan iman mereka dengan cara yang menggoncangkan seluruh dunia Romawi.

Hanya lima puluh hari setelah kematian Yesus, Petrus berdiri di depan suatu kerumunan orang banyak di Yerusalem, dan dengan berani menyatakan kerajaan Allah telah datang, dan Yesuslah Raja dan Mesiasnya. Pada waktu itu Yerusalem penuh dengan peziarah-peziarah yang datang dari seluruh penjuru kekaisaran Roma untuk merayakan Pesta Pentakosta - dan ketika Petrus berbicara, mereka tidak hanya mengerti pemberitaannya tetapi juga, dalam jumlah yang luar biasa besarnya, memberikan respons terhadapnya. Ketika Petrus menyatakan mereka harus menjadi murid-murid Yesus dengan bertobat dari dosa dan menerima hidup baru yang diberikan Allah, tiga ribu orang menerima seruannya dan menyerahkan diri mereka kepada Yesus (Kis. 2:14-42).

Apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga murid-murid Yesus mengalami transformasi dalam hidup mereka? Jawabannya terdapat dalam pembukaan pidato Petrus. Sebab ketika ia berdiri dan berbicara kepada orang banyak itu, Petrus mengingatkan mereka tentang suatu nats Perjanjian Lama yang menggambarkan bahwa datangnya abad baru adalah masa di mana Roh Allah akan bekerja dengan cara baru dalam hidup orang-orang. Sewaktu nabi-nabi Perjanjian Lama memandang ke masa depan, beberapa dari mereka menyadari bahwa masalah manusia tidak pernah akan selesai hingga suatu hubungan baru dijalin antara manusia dan Allah. Dosa dan ketidaktaatan manusia telah mengakibatkan kekacauan, tetapi dalam abad baru Allah tidak hanya menuntut ketaatan - Ia akan memberi mereka kekuatan moral yang baru dan kemampuan untuk menjadi manusia seperti yang dimaksudkan Allah (Yer. 31:31-34). Dalam nubuat Yoel (2:28-32), kekuatan baru untuk hidup ini dihubungkan dengan pemberian Roh Allah - dan Petrus mengambil perikop tersebut sebagai natsnya, serta menyatakan nats tersebut sedang dipenuhi dalam pengalaman murid-murid Yesus. Melalui kematian dan kebangkitan Yesus, orang-orang sekarang dapat mempunyai hubungan baru dengan Allah sendiri. Dari pengalamannya sendiri, Petrus tahu bahwa hal itu benar.

Bagi Petrus dan murid-murid lainnya, hari itu sama seperti hari-hari sebelumnya. Tetapi ketika mereka menghadapi tugas yang begitu besar dan yang tidak mungkin dilaksanakan - yang dipercayakan Yesus kepada mereka, tanpa disangka-sangka suatu kuasa yang memberi hidup masuk ke dalam kehidupan mereka. Kuasa itu merupakan suatu dinamika moral dan spiritual yang memperlengkapi para murid supaya memberi kesaksian tentang iman yang baru. Kuasa itu adalah kuasa Roh Kudus dan akan menjadikan mereka seperti Yesus. Tidaklah mudah menggambarkan dalam kata-kata apa yang mereka alami. Tetapi sebagai akibatnya, kepercayaan mereka yang ragu-ragu dan tidak pasti kepada Yesus dan janji-janji-Nya secara luar biasa diteguhkan. Sejak saat itu dan seterusnya, mereka yakin janji-janji Allah dalam Perjanjian Lama dipenuhi dalam hidup mereka sendiri - dan mereka sangat yakin bahwa Yesus yang hidup ada dan hadir bersama mereka secara unik. Jemaat telah lahir.

Seluruh kehidupan para murid mengalami perombakan sedemikian rupa, sehingga tidak diperlukan argumen lain untuk meyakinkan mereka bahwa pengalaman mereka sehari-hari merupakan akibat langsung dari kuasa dan kehadiran Yesus di dalam hidup mereka. Petrus, Yohanes dan yang lain- lainnya memiliki kuasa guna melakukan tindakan-tindakap hebat dalam nama Yesus (Kis. 2:43; 3:1-10) - dan tentunya Petrus diberikan kemampuan secara tak disangka-sangka untuk berbicara dengan kuasa kepada orang banyak yang berkumpul di Yerusalem.

Sebagai akibat semuanya ini, para rasul dan orang-orang Kristen baru begitu dikuasai oleh cinta-kasih kepada Yesus yang hidup dan kerinduan untuk melayani-Nya, sehingga kebutuhan-kebutuhan kehidupan sehari-hari terlupakan. Orang-orang Kristen selalu "bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa" (Kis. 2:42). Mereka malahan menjual harta mereka dan mengumpulkan hasil penjualan sehingga mereka dapat hidup sebagai suatu persekutuan sejati dari pengikut-pengikut Yesus. Mencari uang bukan lagi merupakan haI yang terpenting dalam hidup. Satu-satunya hal yang penting adalah memuji Allah, dan membawa berita yang-mengubah hidup kepada orang-orang lain (Kis. 2:44,47; 4:32,35).



Jemaat bertumbuh.


Pada hari-hari pertama kehidupan jemaat di Yerusalem, persahabatan terbuka dan gaya hidup sederhana dalam jemaat purba pasti terlihat sebagai menyingsingnya suatu zaman yang baru. Tetapi tidak perlu waktu lama sebelum persoalan-persoalan lain yang lebih rumit muncul, untuk memperingatkan Petrus dan lain-lainnya bahwa kerajaan Allah belum tiba dalam segala kepenuhannya. Persekutuan yang baru tergalang merupakan bukti bahwa umat baru sudah ada. Tetapi seturut berlalunya waktu, ketegangan antara masa sekarang dan masa depan yang begitu fundamental dalam pengajaran Yesus mempunyai dampak yang mengganggu kelanjutan hidup persekutuan kristen yang sedang berkembang. Selama masa hidup Yesus, gerakan mesianik baru yang dibangun-Nya itu pada umumnya hanyalah merupakan bidat setempat dalam agama Yahudi Palestina. Semua murid merupakan orang Yahudi. Walaupun logika pemberitaan dan teladan perilaku Yesus sendiri menunjukkan bahwa orang-orang bukan-Yahudi tidak dikecualikan dari keanggotaan persekutuan, hubungan orang-orang Yahudi dan bukan-Yahudi tidaklah merupakan persoalan besar pada waktu itu. Orang-orang bukan-Yahudi yang bertemu dengan Yesus adalah pribadi-pribadi tersendiri (Mrk. 7:24-30; Luk. 7:1-10). Jumlah mereka tidak besar, dan bagaimanapun juga banyak dari mereka mungkin sekali menghadiri upacara-upacara agama di sinagoge, meskipun mereka belum memeluk agama Yahudi.

Tetapi tidak lama kemudian, para pengikut Yesus dipaksa untuk mencurahkan perhatian besar terhadap seluruh persoalan hubungan antara orang-orang percaya Yahudi dan bukan-Yahudi. Walaupun mereka tidak menyadarinya, peristiwa-peristiwa pada hari Pentakosta yang direkam pada bagian Kisah Para Rasul merupakan suatu peristiwa yang menentukan dalam kehidupan jemaat muda usia itu (Kis. 2). Sebab ketika banyak di Petrus berdiri dan menerangkan ajaran Kristen kepada orang kosmolitan, Yerusalem, ia berhadapan dengan sidang pendengar yang terdiri dari "orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit" (Kis. 2:5). Tentu saja mereka semua menaruh perhatian terhadap agama Yahudi, kalau tidak mereka tidak akan mengadakan perjalanan ke Yerusalem guna menghadiri perayaan keagamaan. Tetapi tidak semua orang bukan-Yahudi di antara mereka sudah menjadi penganut penuh agama Yahudi yang menerima seluruh hukum Yahudi - sedangkan mereka yang berasal dari keluarga Yahudi pun diberbagai tempat dari kekaisaran Roma, mempunyai latar belakang dan pandangan yang agak berlainan dengan orang Yahudi yang dilahirkan dan dibesarkan di Palestina sendiri. Mayoritas dari orang banyak yang mendengar khotbah Petrus pada hari Pentakosta mungkin sekali merupakan orang-orang Yahudi yang berbahasa Yunani, yang telah berziarah ke Yerusalem dalam rangka pesta agama Yahudi yang besar itu. Banyak dari mereka yang baru untuk pertama kalinya mengunjungi Yerusalem. Walaupun tempat tinggal mereka sangat jauh, mereka selalu menggandrungi Yerusalem serta Bait Allah. Yang merupakan tempat suci pusat agama mereka, sama halnya bagi orang Yahudi yang tinggal di Palestina. Petrus dan murid-murid lainnya tidak ragu-ragu bahwa kabar baik tentang Yesus harus disampaikan juga kepada orang-orang tersebut. Memang, banyak persamaan di antara mereka. Para murid sendiri merupakan pendukung setia dari upacara-upacara ibadah di sinagoge. Mereka juga memelihara pesta-pesta agama Yahudi Yang besar, dan kadang-kadang mereka malahan berkhotbah di pelataran Bait Allah (Kis. 3:1-16). Hal ini merupakan sesuatu yang Yesus sendiri tidak dapat lakukan tanpa kekhawatiran akan akibat-akibatnya, dan walaupun Petrus dan Yohanes kemudian ditangkap dan dituduh di hadapan mahkamah agama Yahudi, mereka segera dibebaskan, dan satu-satunya pembatasan yang dikenakan ke atas mereka adalah supaya "sama sekali jangan berbicara atau mengajar lagi dalam nama Yesus" (Kis. 4:18). Terlepas dari iman mereka kepada Yesus yang terasa aneh, tindak-tanduk mereka pada umumnya dapat diterima oleh para penguasa Yahudi.



Sumber :
John Drane, Memahami Perjanjian Baru, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, Halaman : 256 – 259



GEREJA DI ANTIOKHIA

Kota Antiokhia dibangun oleh Seleukus Nicator dalam tahun 300 Sm. Di bawah pemerintahan raja-raja Seleuk yang pertama ia berkembang dengan pesat. Pada mulanya kota ini sepenuhnya dihuni oleh orang-orang Yunani, namun kemudian orang-orang Siria menetap di luar tembok kota dan akhirnya menyatu dengan kota sejalan dengan perkembangan kota itu. Unsur penduduk yang ketiga adalah orang-orang Yahudi, banyak di antaranya yang merupakan keturunan dari penghuni kota pertama yang didatangkan dari Babilon. Mereka mempunyai hak-hak yang sama dengan orang Yunani dan tetap menjalankan ibadat mereka di sinagoge-sinagoge. Di bawah pemerintahan Romawi, Antiokhia menjadi makmur. Karena merupakan pintu gerbang militer dan perniagaan ke Timur, ia menjadi kota yang terbesar setelah Roma dan Aleksandria.

Tahun berdirinya gereja di Antiokhia tidak dinyatakan dengan jelas. Nampaknya ia berdiri tidak lama setelah kematian Stefanus, mungkin sekitar tahun 33 hingga 40. Untuk mendapatkan ukuran dan reputasi yang cukup berarti hingga dapat menarik perhatian gereja di Yerusalem (11:22) tentu dibutuhkan beberapa waktu. Gereja di Yerusalem mengutus Barnabas untuk mengunjungi Antiokhia, di mana ia bekerja entah selama berapa lama, dan kemudian pergi ke Tarsus untuk meminta Paulus agar menjadi pembantunya (11:22-26). Mereka bekerja bersama-sama selama; sekurang-kurangnya satu tahun setelah itu (11:26) sebelum Agabus meramalkan bahaya kelaparan yang akan menimpa dunia "pada zaman Claudius" (11:28). Makna yang tersirat dalam ayat ini adalah bahwa; ramalan ini diberikan sebelum Claudius naik takhta pada tahun 41, dan bahwa bahaya kelaparan terjadi sesudah itu. Data kronologis lainnya diperoleh dari penyebutan tentang Herodes Agripa I (12:1), yang meninggal dunia pada tahun 44. Mungkin pelayanan di Antiokhia dimulai sekitar tahun 33 hingga 35. Bila dana bantuan kelaparan dikumpulkan sekitar tahun 44, Barnabas pasti telah mulai menjalin hubungannya dengan Antiokhia sekitar tahun 41, yang berarti bahwa Paulus mulai menjalankan tugasnya di sana pada tahun 42.

Meskipun kronologi ini tidak dapat dikatakan pasti, ia cukup sesuai dengan perkembangan kegiatan Paulus yang diketahui. Bila ia menjadi percaya dalam tahun 31 atau katakanlah 32, dan menghabiskan waktu tiga tahun di kawasan Damsyik (Galatia 1:18), ia akan tiba di Yerusalem sebelum tahun 35. Bila ia menghabiskan waktu selama satu atau dua tahun di Yerusalem sebelum kembali ke Tarsus (Kisah 9:28-30), maka ketika Bamabas datang untuk menyertainya dalam tugas barunya ia tentu sudah berkhotbah selama lima tahun di Tarsus dan Kilikia. Nampaknya ada suatu kesenjangan waktu yang cukup besar di sini, tetapi banyak kesenjangan lain dalam karangan Lukas mengenai perkara yang sama pentingnya hingga keadaan ini tidak menjadi sesuatu yang luar biasa.

Gereja di Antiokhia cukup penting, karena ia memiliki beberapa segi yang menonjol. Pertama, ia adalah induk dari gereja bagi bangsa-bangsa lain. Rumah di keluarga Kornelius tidak dapat disebut gereja dalam arti yang sama dengan kelompok umat di Antiokhia, karena ia adalah suatu kelompok keluarga pribadi bukan suatu jemaat umum. Dari gereja Antiokhia berangkatlah misi resmi yang pertama ke dunia yang belum tersentuh Injil. Di Antiokhia dimulailah perdebatan yang pertama tentang status umat Kristen dari bangsa-bangsa lain. Ia merupakan pusat tempat berkumpulnya para pemimpin gereja. Secara bergantian, Petrus, Barnabas, Titus, Yohanes Markus, Yudas Barsabas, Silas, dan bila naskah Barat benar, penulis dari buku ini sendiri, semuanya dihubungkan dengan gereja di Antiokhia. Patut untuk diperhatikan bahwa dapat dikatakan mereka semuanya terlibat dalam misi kepada bangsa-bangsa lain dan disebut-sebut dalam Surat Kiriman Paulus maupun di dalam Kisah Para Rasul.

Kitab-kitab Injil mungkin berasal dari Antiokhia. Kemungkinan hubungan di antara Markus dan Lukas maupun kenyataan pertemuan mereka di Roma barangkali dapat menjawab beberapa masalah yang sering diperdebatkan dalam masalah Sinoptis. Ignatius, uskup di Antiokhia pada akhir abad yang pertama, nampaknya nyaris hanya mengutip dari Matius, ketika ia berbicara mengenai Injil, seolah-olah Injil Matius adalah satu-satunya Injil Sinoptis yang diketahuinya. Streeter mempertahankan pendapatnya secara panjang lebar bahwa Injil Matius berasal dari Antiokhia, karena ia digunakan oleh Ignatius dan di dalam Didakhe (Ajaran Dua Belas Rasul, keduanya menurutnya adalah dokumen-dokumen orang Siria. Bila ketiga Injil Sinoptis menanamkan dasarnya pada suasana yang hidup dalam khotbah lisan gereja di Antiokhia, pelayanan firman mereka kepada dunia dapat dikatakan merupakan warisan dari gereja ini kepada bangsa-bangsa lain yang percaya dari masa yang lalu maupun masa sekarang.

Gereja di Antiokhia juga tersohor karena guru-gurunya. Di antara mereka yang disebut di dalam Kisah Para Rasul 13:1, hanya Barnabas dan Paulus yang baru dikenal dalam beberapa penyebutan belakangan, tetapi pelayanan mereka pasti telah membuat gereja ini terkenal sebagai pusat pengajaran. Jelas sekali bahwa Antiokhia telah mengalahkan Yerusalem sebagai pusat pengajaran Kristen dan sebagai markas misi penginjilan.

Mungkin perkembangan Antiokhia makin dipercepat oleh penindasan Herodes dalam tahun 44. Gereja di Yerusalem selalu dalam keadaan kekurangan dana, karena banyak anggota jemaat yang miskin yang harus selalu ditunjang oleh sumbangan-sumbangan. Bahaya kelaparan itu pasti makin melemahkan mereka, meskipun ada dana sumbangan dari Antiokhia (11:28-30). Penindasan di bawah Herodes mengakibatkan kematian Yakobus, anak Zebedeus (12:2), dan Petrus juga nyaris kehilangan nyawanya (12:17). Kisah selingan dalam 12:1-24 hanya memberikan gambaran sekilas tentang keadaan di Yerusalem, tetapi ia menunjukkan gereja yang tetap setia bertahan meskipun tekanan begitu berat, yang terus berusaha mempertahankan keberadaannya sampai saat yang terakhir.

Fakta yang paling kuat tentang gereja di Antiokhia adalah kesaksian ini. "Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen" (11:26). Sebelum itu orang-orang yang percaya kepada Kristus dianggap sebagai suatu sekte agama Yahudi, tetapi dengan masuknya bangsa-bangsa lain ke dalam kelompok mereka dan dengan makin berkembangnya sistem pengajaran yang sangat berbeda dengan hukum Musa, dunia mulai melihat perbedaan itu dan menyebut mereka dengan julukan yang lebih tepat. "Kristen" berarti "milik Kristus" seperti Herodian berarti "milik Herodes". Mungkin nama ini dimaksudkan sebagai suatu ejekan, tetapi watak para Rasul dan kesaksian yang mereka sampaikan memberikan arti yang menyanjung.


MISI KEPADA BANGSA-BANGSA LAIN


Pada tahun 46 atau sekitarnya gereja di Antiokhia telah tumbuh menjadi suatu kelompok yang mantap dan aktif. Mereka memperdalam pengetahuannya tentang iman, reputasi mereka sudah tersohor di seluruh kota hingga mereka sudah dianggap sebagai suatu kelas tersendiri sebagai orang-orang Kristen, dan mereka mendukung suatu ekspedisi ke Yerusalem untuk menyampaikan sumbangan bagi mereka yang menderita karena kelaparan. Ketika mereka sedang menjalankan ibadah sebagaimana biasanya, datanglah panggilan untuk meng-"khususkan Barnabas dan Saulus" (13:2) untuk melakukan suatu tugas khusus. Untuk menaati perintah Roh Kudus, gereja mengkhususkan kedua orang ini untuk menjalankan tugas yang baru dan mengutus mereka untuk menjalankan misinya.


Siprus


Tujuan pertama dari kegiatan mereka adalah Siprus, tempat asal Barnabas (4:36). Mungkin gereja mempunyai beberapa kepentingan di sana, karena "orang Siprus" (11:20) termasuk di antara mereka yang pertama-tama mengabarkan Injil di Antiokhia. Barnabas dan Saulus, disertai Yohanes Markus sebagai pembantu mereka, mengunjungi sinagoge-sinagoge dan memberitakan kabar baru di sana. Ketika berselisih dengan Elimas yang berusaha membelokkan iman gubernur, Paulus tampil ke depan. Karena ia tahu akan ilmu-ilmu setan yang dianut Elimas, Paulus mengecamnya di muka umum, dan mengutuknya. Gubernur terpesona melihat hukuman yang segera jatuh pada Elimas, dan "percaya" (13:12).

Tidak ada catatan statistik tentang hasil penginjilan di Siprus, tetapi ada suatu perubahan penting yang terjadi. Dalam Kisah Para Rasul 13:2 kelompok mereka disebut "Barnabas dan Saulus," yang menempatkan Barnabas pada posisi yang lebih menonjol sebagai penginjil yang lebih senior, dan menyebut Paulus dengan nama Yahudinya. Dalam Kisah Para Rasul 13:13 peristilahan yang dipakai berubah menjadi "Paulus dan kawan-kawannya," dengan menggunakan nama Yunani Paulus. Dari titik inilah di kisah ini Paulus menjadi tokoh yang paling menonjol. Pelayanan di Siprus mengungkapkan bakat kepemimpinan Paulus dan menempatkannya sebagai pemimpin misi dengan suara bulat.

Dalam periode yang sama ada dua peristiwa lain yang terjadi. Paulus meninggalkan Siprus dan pindah ke Asia Kecil, dan Yohanes Markus mengundurkan diri dari kelompok mereka serta kembali ke Yerusalem. Bagi Paulus ini adalah awal dari proyek penginjilan sedunia untuk mewartakan Injil ke wilayah-wilayah yang belum terjamah. Markus nampaknya seolah-olah telah menyimpang secara tidak benar dari suatu program yang sudah ditetapkan. Apakah ia merasa iri hati karena saudaranya, Barnabas, yang didudukkan di tempat kedua, atau ia merasa takut memasuki wilayah yang liar di pedalaman Asia Kecil, atau ia mempunyai perbedaan prinsip dengan Paulus, tidak pernah diceritakan. Yang jelas ia tidak mau melanjutkan perjalanannya lebih lanjut dan kembali pulang.


Antiokhia di Pisidia


Khotbah Paulus di dalam sinagoge di Antiokhia di Pisidia, dikutip secara panjang lebar oleh Lukas (Kisah 13:16-43). Secara umum gaya pidatonya menyerupai gaya Stefanus, karena ia menggunakan cara pendekatan dengan mengulang kembali sejarah hubungan Allah dengan bangsa Israel. Tema utamanya diperkenalkan dalam ayat 23: "dari keturunannyalah sesuai dengan yang telah dijanjikannya, Allah telah membangkitkan Juruselamat bagi orang Israel, yaitu Yesus . . . " Pengembangan tema ini tidak jauh menyimpang dari khotbah-khotbah apostolik yang telah dikutip dalam pasal-pasal Kisah Para Rasul terdahulu, tetapi ketika Paulus tiba pada puncak pidatonya ia mengemukakan suatu unsur yang baru:

Jadi ketahuilah, hai saudara-saudara, oleh karena Dialah maka diberitakan kepada kamu pengampunan dosa. Dan di dalam Dialah setiap orang yang percaya memperoleh pembebasan dari segala dosa, yang tidak dapat kamu peroleh dari hukum Musa (Kisah 13:38-39).

Meskipun Petrus telah memaklumkan kebangkitan dan pengampunan dari dosa melalui Kristus (2:32, 36, 38; 3:15, 19; 5:30-31; 10:40, 43), baru pertama kali itulah ada orang mengatakan dengan jelas bahwa setiap orang dapat dibenarkan di hadapan Allah hanya karena iman. Dibenarkan berarti dinyatakan benar, atau secara hukum dianggap benar. Jaminan akan keselamatan dapat diperoleh hanya dengan iman kepada . Allah, berarti hukum Taurat akan kehilangan artinya dan menjadi sia-sia.

Ini adalah suatu terobosan yang baru dan berani dalam kebenaran tentang Kristus.

Akibat dari pernyataan ini timbul dua macam reaksi. Di satu pihak ada tanggapan luar biasa atas pidato Paulus, karena "pada hari Sabat berikutnya datanglah hampir seluruh kota itu berkumpul untuk mendengar firman Allah" (13:44). Di lain pihak, orang-orang Yahudi yang menentang mereka penuh dengan perasaan dengki hingga merasa iri hati dan memfitnah (13:45). Akhirnya Paulus menyatakan bahwa ia akan berpaling kepada bangsa-bangsa lain, yang sebagian daripadanya sudah menjadi percaya (13:48). Maka gereja yang baru di Antiokhia di Pisidia tidak berpusat pada orang-orang Yahudi melainkan pada orang-orang bukan Yahudi.


Ikonium, Listra, dan Derbe


Keadaan yang sama terjadi di kota Ikonium, yang terletak agak ke sebelah tenggara dari Antiokhia. Jemaat Kristen yang subur dibangun di dalam sinagoge, tetapi pertentangan pendapat begitu hebat hingga para pengkhotbah diusir dari kota dan bersembunyi di kota-kota sekitarnya, yaitu Listra dan Derbe.

Di Listra Paulus menghadiri orang-orang yang memuja berhala. Imam dewa Zeus yang datang dari luar kota (14:13), ketika melihat bagaimana Paulus menyembuhkan orang lumpuh mengira bahwa Paulus dan Barnabas adalah dewa-dewa yang turun ke bumi, dan mencoba untuk mempersembahkan kurban bagi mereka. Protes keras Paulus terhadap kesalahan ini, menimbulkan gagasan baru bagi metode pendekatannya ke dalam alam pemikiran kafir, yang buta terhadap Perjanjian Lama. Ia dan Barnabas berbicara tentang Allah yang esa yang memberikan "hujan dari langit dan ... musim-musim subur" (14:17), suatu titik pertemuan yang dapat diterima oleh para petani sederhana di kawasan itu apakah mereka mempunyai pengetahuan formal tentang teologi atau tidak.

Pelayanan mereka di Listra terputus oleh serangan mendadak dari orang-orang Yahudi yang memusuhi mereka dari Antiokhia di Pisidia dan Ikonium, yang membujuk orang-orang yang kurang berpengetahuan dan mudah terpengaruh itu bahwa Paulus adalah seorang tukang propaganda yang berbahaya. Ia dilempari batu dan diseret ke luar kota seperti orang mati, tetapi ia sadar kembali lalu meninggalkan kota itu menuju ke Derbe untuk mengajar di sana. Setelah menghimpun sejumlah orang percaya di kota itu, Paulus dan Barnabas menoleh kembali kepada jejak-jejak yang mereka tinggalkan, untuk memperkokoh dan membenahi gereja- gereja yang telah mereka bangun. Mereka kembali ke Antiokhia Siria untuk melaporkan apa-apa yang telah diperbuat Allah bersama mereka, dan menunjukkan bagaimana " . . . ia telah membuka pintu bagi bangsa-bangsa lain kepada iman" (14:27).

Tidaklah berlebih-lebihan bila dikatakan bahwa laporan perjalanan ini sangat penting. Hal ini membawa Paulus ke garis depan sebagai seorang pemimpin gereja, dan menyejajarkannya dengan para rasul (band. Galatia 2:7-9). Ia juga memberikan andil bagi pendidikan Yohanes Markus, meskipun nampaknya ia sudah membuat suatu kegagalan besar. Hubungan awal dengan Timotius mungkin terjadi selama perjalanan ini, karena Paulus berbicara tentang pengalamannya di kawasan ini ketika ia menulis kepada Timotius bertahun-tahun sesudahnya (2Timotius 3:11). Di atas segalanya, ia menandai suatu tolok ukur baru di dalam pemikiran teologis gereja, karena dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam perjalanan ini lahirlah ajaran Paulus tentang pembenaran karena iman.



Sumber :
Merrill C. Tenney Survei Perjanjian Baru, Gandum Mas, Malang, 2000, Halaman : 110 – 116

(http://www.sarapanpagi.org/sejarah-gereja-mula-mula-vt1684.html)